‘Menggoreng’ Isu ISIS, Mengalihkan Perhatian Publik

Media massa, meski sudah ada ‘lawan tanding’ bernama sosial media, nampaknya masih digdaya untuk menyasar kelompok masyarakat di barisan paling bawah: akar rumput. Umumnya, mereka tak begitu memiliki kesempatan untuk berlama-lama di jejaring sosial, atau malah mungkin tak pernah menyentuhnya. Bahkan di antara jenis media massa, masyarakat di akar rumput ini hanya mengandalkan televisi sebagai penyuplai kebutuhan informasinya. Celakanya, tak semua media televisi mampu melayani dengan benar dan baik sebagaimana mestinya. Sebaliknya, malah menjadi agen pengubah persepsi, karena yang dihadirkan adalah informasi yang sudah dibentuk dari opini yang ingin dijejalkan.
ISIS, sejak beberapa hari lalu hingga malam ini, menjadi headline di media massa, terutama televisi. Informasi dan opini yang ditebar berbagai media memberikan porsi lebih. Sehingga sebenarnya bukan berita biasa, tetapi berita yang sudah dibentuk dan diarahkan sesuai opini untuk tujuan tertentu. Bahkan bila kita mencoba menelaah sedikit lebih dalam dari sebuah berita, maka mungkin saja kita akan menemukan berita yang sebenarnya justru berupa fakta semu. Lebih parah lagi karena kesulitan kita mengecek berita yang satu ke berita yang lainnya, akhirnya fiksi pun diyakini sebagai fakta. Ini sangat berbahaya. Fakta semu itulah yang dianggap publik sebagai fakta sesungguhnya. Publik tidak mungkin atau sangat sulit sekali melihat langsung seluruh “fakta” yang disajikan media massa. Ingat, kasus terorisme di Indonesia bukan perkara kriminal biasa, tetapi politis. Itu artinya, media massa dipaksa (atau terpaksa?) merekayasa fakta atas pesanan pemilik kepentingan untuk berbagai tujuan. Sangat boleh jadi—mungkin saja—Dr Azhari atau Nurdin M Top sebenarnya tokoh khayalan alias tak pernah nyata. Kita nyaris tak punya bukti, kecuali dari satu sumber: kepolisian.
Informasi yang salah, baik sengaja dijejalkan atau karena salah memahami, bisa berdampak fatal. Pemerintah Amerika berbohong soal WMD (Weapons of Mass Destruction–alias Senjata Pemusnah Massal) yang dimiliki Irak. Mereka berbohong untuk meyakinkan publik bahwa itu berbahaya dan harus dimusnahkan. Kendati berhasil ‘ngeluruk’ Irak di tahun 2003 dan menggantung Saddam Husein, tetapi cerita bohong tentang WMD sudah menjadi seperti fakta yang diyakini kebenarannya oleh sebagian besar penduduk dunia. Namun, masyarakat dunia pada akhirnya tahu bahwa itu hanya akal-akalan Amerika saja agar punya alasan melakukan invasi ke Irak. Tetapi, semuanya sudah terlambat.
ISIS dan problem dalam negeri
BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) ribut soal ISIS yang konon kabarnya mengancam NKRI. Mempermasalahkan pula WNI yang katanya bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Mengkhawatirkan radikalisasi ala ISIS menyebar di kalangan masyarakat Indonesia. Media massa juga ikut melibatkan diri dalam irama yang ditabuh pemilik kepentingan dalam isu ini. Hasilnya? Media massa secara serentak menggoreng isu ISIS menjadi menu sajian utama setiap hari. Masyarakat dibuat takut, dijejalkan ‘hantu teroris’ ke dalam benaknya, bahkan TV One memberitakan sejak sore hingga malam ini dengan tagline: “Memburu Kelompok Radikal”. Lengkap dengan tayangan live dan aksis Densus 88 menggeledah rumah yang kabarnya ada keterkaitan dengan ISIS. Seperti biasa, hanya menampilkan dari satu sisi. Sementara yang dituduh terlibat tak dimintai keterangan.
Lalu apa hubungannya dengan problem dalam negeri? Ada. Problem dalam negeri sudah begitu banyak. Terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak (rakyat). Nilai rupiah yang terus terjun bebas seiring dengan kenaikan nilai dolar Amerika, subsidi BBM dicabut, tiket kereta naik, impor beras, remisi untuk koruptor, pembegalan, dan beragam masalah lainnya yang tak jua bisa diselesaikan pemerintah. Tetapi, seolah semua hilang berganti ancaman baru yang tak penting bernama “Monster ISIS”. Masyarakat dibuat sibuk membicarakan itu, tetapi dalam waktu bersamaan pemerintah mengagendakan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Ingat, ketika publik dibuat sibuk dengan isu begal (yang semestinya bisa diselesaikan dengan cepat—saya menulisnya dengan judul: Begal, Begal, Begal), tahu-tahu di awal Maret BBM jenis premium naik lagi. Intinya, apapun bisa dijadikan pengalih perhatian. Sejak awal tahun isu begal yang digelar tak begitu laku lagi, kini mencoba peruntungan dengan isu ISIS, tetapi semoga publik segera sadar bahwa itu hanyalah rekayasa dalam proyek besar penyesatan opini dan pengalihan dari isu yang sebenarnya menjadi ancaman bagi publik.
Jean Baudrillard, seorang Sosiolog Prancis menggunakan istilah hiperrealitas (hyperreality) untuk menjelaskan rekayasa (dalam pengertian distorsi) makna dalam media. Bagi Baudrillard, televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke dalam sebuah kebudayaan sebagai black hole. Artinya, kebudayaan yang tidak mempunyai dasar. Televisi hanya menyajikan aliran gambar yang tidak lagi mempunyai aslinya atau singkatnya simulacra. Realitas yang ada adalah realitas semu, realitas buatan (hiperrealitas). Tampaknya analisis Baudrillard tidak lepas dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat ini, sehingga sangatlah memungkinkan terjadi manipulasi yang hampir sempurna. Dunia realitas virtual syarat dipenuhi oleh trik-trik citraan, tetapi kita menerimanya sebagai realitas, tanpa menyadari trik-trik visual tersebut. Bahaya!
Apa sikap terbaik kita sebagai muslim? Jangan mudah percaya terhadap pemberitaan media massa, apalagi kemudian menelannya mentah-mentah. Selain berita yang belum jelas faktanya, juga berita itu sudah dioplos dengan opini sehingga sulit mendeteksi apakah itu murni fakta, atau fakta semu, atau justru semuanya opini sesat?
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Hujuraat [49: 6)
Sekadar kesimpulan sementara: jangan mudah percaya berita yang disajikan media massa mainstream. Telaah terlebih dahulu, jika masih ragu, tak perlu percaya. Isu ISIS yang digelontorkan pihak tertentu sangat boleh jadi adalah bagian dari sekuel proyek stigmatisasi terhadap Islam dan kaum muslimin dengan label lama bernama terorisme dan teroris. Tujuan utamanya adalah melemahkan perjuangan menegakkan syariat Islam sembari tetap mengokohkan liberalisme yang menyokong kapitalisme-sekularisme.
Selain itu, sebenarya ISIS sudah tidak ada, sejak pertengahan tahun 2014 berganti nama menjadi IS (Islamic State). Sangat boleh jadi pilihan nama ISIS yang dipakai media dalam menjejalkan berita dan membenamkan opininya adalah untuk menghindari substansi fakta yang sebenarnya. Atau bisa juga label ISIS–ketimbang IS–yang disematkan media massa mainstream dalam pemberitaan dan opininya adalah untuk memberikan kesan bahwa itu hanya ‘sekadar’ kelompok atau geng atau komunitas, bukan sebagai negara. Ini pasti sudah dengan pertimbangan. Sebab, barangkali banyak pihak khawatir bila yang dipakai dalam pemberitaan adalah istilah Islamic State akan menuai banyak dukungan kepada Islamic State, mengingat istilah negara Islam atau Khilafah Islamiyah adalah cita-cita banyak kaum muslimin yang beriman dan memiliki arah perjuangan berdasar bisyarah nabawiyah (isyarat kenabian) untuk menegakkan kembali institusi negara yang berlandaskan syariat Islam tersebut.
Salam,
Sumber : O. Solihin
Share on Google Plus whatsapp
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment